Jumat, 21 Januari 2011

BIOGRAFI ULAMA SALAFI

Siapakah Syekh Imam Ahmad At Tijani?
Tentang pengenalan syekh Ahmad At Tijani, saya akan mengurai Sekilas Biografi Syekh Ahmad al-Tijani. Semoga bermanfaat.
Syekh Ahmad al-Tijani, dilahirkan pada tahun 1150 H. (1737 M.) di `Ain Madi, sebuah desa di Al-Jazair. Syekh Ahmad al-Tijani memiliki nasab sampai kepada Rasulullah saw. lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Ibn Muhammad Ibn Mukhtar Ibn Ahmab Ibn Muhammad Ibn Salam Ibn Abi al-Id Ibn Salim Ibn Ahmad al-`Alawi Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Abbas Ibn Abd Jabbar Ibn Idris Ibn Ishak Ibn Zainal Abidin Ibn Ahmad Ibn Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah Ibn Abdullah al-Kamil Ibn Hasan al-Musana Ibn Hasan al-Sibti Ibn Ali Ibn Abi Thalib, dari Sayyidah Fatimah al-Zahra putri Rasuluullah saw.
Beliau wafat pada hari Kamis, tanggal 17 Syawal tahun 1230 H., dan dimakamkan di kota Fez Maroko.
Sejak umur tujuh tahun Syekh Ahmad al-Tijani telah hafal al-Qur’an dan sejak kecil beliau telah mempelajari berbagai cabang ilmu seperti ilmu Usul, Fiqh, dan sastra. Dikatakan, sejak usia remaja, Syekh Ahmad al-Tijani telah menguasai dengan mahir berbagai cabang ilmu agama Islam, sehingga pada usia dibawah 20 tahun beliau telah mengajar dan memberi fatwa tentang berbagai masalah agama.
Pada usia 21 tahun, tepatnya pada tahun 1171 H. Syekh Ahmad al-Tijani pindah ke kota Fez Maroko. untuk memperdalam ilmu tasawuf. Selama di Fez beliau menekuni ilmu tasawuf melalui kitab Futuhat al-Makiyyah, di bawah bimbingan al-Tayyib Ibn Muhammad al-Yamhalidan Muhammad Ibn al-Hasan al-Wanjali. Al-Wanjali mengatakan kepada Syekh Ahmad al-Tijani : “Engkau akan mencapai maqam kewalian sebagaimana maqam al-Syazili”. Selanjutnya beliau menjumpai Syekh Abdullah Ibn Arabi al-Andusia, dan kepadanya dikatakan : (Semoga Allah membimbingmu); “Kata-kata ini di ulang sampai tiga kali”. Kemudian beliau berguru kepada Syekh Ahmad al-Tawwasi, dan mendapat bimbingan untuk persiapan masa lanjut. Ia menyarankan kepada Syekh Ahmad al-Tijani untuk berkhalwat (menyendiri) dan berzikir (zikr) sampai Allah memberi keterbukaan (futuh). Kemudian ia mengatakan : “Engkau akan memperoleh kedudukan yang agung (maqam ‘azim)”.
Ketika Syekh Ahmad al-Tijani memasuki usia 31 tahun, beliau mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah swt., melalui amalan beberapa thariqat. Thariqat pertama yang beliau amalkan adalah thariqat Qadiriyah, kemudian pindah mengamalkan thariqat Nasiriyah yang diambil dari Abi Abdillah Muhammad Ibn Abdillah, selanjutnya mengamalkan thariqat Ahmad al-Habib Ibn Muhammaddan kemudian mengamalkan thariqat Tawwasiyah. Setelah beliau mengamalkan beberapa thariqat tadi, kemudian beliau pindah ke Zawiyah (pesantren sufi) Syekh Abd al-Qadir Ibn Muhammad al-Abyadh.
Pada tahun 1186 H. Beliau berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji. Ketika beliau tiba di Aljazair, beliau menjumpai Sayyid Ahmad Ibn Abd al-Rahman al-Azhari seorang tokoh thariqat Khalwatiah, dan beliau mendalami ajaran thariqat ini. Kemudian beliau berangkat ke Tunise dan menjumpai seorang Wali bernama Syekh Abd al-Samad al-Rahawi. Di kota ini beliau belajar thariqat sambil mengajar tasawuf.
Ajaran dan Dzikir Tarekat Tijaniyah
Sejauh ini at-Tijani tidak meninggalkan karya tulis tasawuf yang diajarkan dalam tarekatnya. Ajaran-ajaran tarekat ini hanya dapat dirujuk dalam bentuk buku-buku karya murid-muridnya, misalnya Jawahir al-Ma’ani wa Biligh al-Amani fi-Faidhi as-Syekh at-Tijani, Kasyf al-Hijab Amman Talaqqa Ma’a at-Tijani min al-Ahzab, dan As-Sirr al-Abhar fi-Aurad Ahmad at-Tijani. Dua kitab yang disebut pertama ditulis langsung oleh murid at-Tijani sendiri, dan dipakai sebagai panduan para muqaddam dalam persyaratan masuk ke dalam Tarekat Tijaniyah pada abad ke-19.
Tarekat Tijaniyah mempunyai wirid yang sangat sederhana dan wadhifah yang sangat mudah. Wiridnya terdiri dari Istighfar, Shalawat dan Tahlil yang masing-masing dibaca sebanyak 100 kali. Boleh dilakukan dua kali dalam sehari, setelah shalat Shubuh dan Ashar. Wadhifahnya terdiri dari Istghfar (astaghfirullah al-adzim alladzi laa ilaha illa hua al hayyu al-qayyum) sebanyak 30 kali, Shalawat Fatih (Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad al-fatih lima ughliqa wa al-khatim lima sabaqa, nasir al-haqq bi al-haqq wa al-hadi ila shirat al-mustaqim wa’ala alihi haqqaqadruhu wa miqdaruh al-adzim) sebanyak 50 kali, Tahlil (La ilaaha illallah) sebanyak 100 kali, dan ditutup dengan doa Jauharatul Kamal sebanyak 12 kali.
Pembacaan wadhifah ini juga paling sedikit dua kali sehari semalam, yaitu pada sore dan malam hari, tetapi lebih afdlal dilakukan pada malam hari. Selain itu, setiap hari Jum’at membaca Hayhalah, yang terdiri dari dzikir tahlil dan Allah, Allah, setelah shalat Ashar sampai matahari terbenam. Dalam hal dzikir ini at-Tijani menekankan dzikir cepat secara berjamaah. Beberapa syarat yang ditekankan tarekat ini untuk prosesi pembacaan wirid dan wadhifah: berwudlu, bersih badan, pakaian dan tempat, menutup aurat, tidak boleh berbicara, berniat yang tegas, serta menghadap kiblat.
Satu hal yang penting dicatat dari dzikir Tarekat Tijaniyah — yang membedakannya dengan tarekat-tarekat lain — adalah bahwa tujuan dzikir dalam tarekat ini, sebagaimana dalam Tarekat Idrisiyyah, lebih menitikberatkan pada kesatuan dengan ruh Nabi SAW, bukan kemanunggalan dengan Tuhan, hal mana merupakan perubahan yang mempengaruhi landasan kehidupan mistik. Oleh karena itu, anggota tarekat ini juga menyebut tarekat mereka dengan sebutan At-Thariqah Al-Muhammadiyyah atau At-Thariqah al-Ahmadiyyah, termanya merujuk langsung kepada nama Nabi SAW. Akibatnya, jelas tarekat ini telah memunculkan implikasi yang ditandai dengan perubahan-perubahan mendadak terhadap asketisme dan lebih menekankan pada aktivitas-aktivitas praktis. Hal ini tampak sekali dalam praktik mereka yang tidak terlalu menekankan pada bimbingan yang ketat, dan penolakan atas ajaran esoterik, terutama ekstatikdan metafisis sufi. Ciri khusu dari dzikir dan wirid yang menjadi andalan milik penuh tarekat ini adalah Shalawat Fatih dan Jauharat al-Kamal.
Sumber Website Syeikh Rohimuddin Al Bantany http://www.rohimuddin.com/?p=547
Biografi Ulama Indonesia : SYAIKH NAWAWI AL BANTANI
SYAIKH NAWAWI AL BANTANI


Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…
Ada beberapa nama yang bisa disebut sebagai tokoh Kitab Kuning Indonesia. Sebut misalnya, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Abdul Shamad Al-Palimbani, Syekh Yusuf Makasar, Syekh Syamsudin Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Sheikh Ihsan Al-Jampesi, dan Syekh Muhammad Mahfudz Al-Tirmasi. Mereka ini termasuk kelompok ulama yang diakui tidak hanya di kalangan pesantren di Indonesia, tapi juga di beberapa universitas di luar negeri. Dari beberapa tokoh tadi, nama Syekh Nawawi Al-Bantani boleh disebut sebagai tokoh utamanya. Ulama kelahiran Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten, Jawa Barat, 1813 ini layak menempati posisi itu karena hasil karyanya menjadi rujukan utama berbagai pesantren di tanah air, bahkan di luar negeri.
Bernama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi, Syekh Nawawi sejak kecil telah diarahkan ayahnya, KH. Umar bin Arabi menjadi seorang ulama. Setelah mendidik langsung putranya, KH. Umar yang sehari-harinya menjadi penghulu Kecamatan Tanara menyerahkan Nawawi kepada KH. Sahal, ulama terkenal di Banten. Usai dari Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada ulama besar Purwakarta Kyai Yusuf.
Ketika berusia 15 tahun bersama dua orang saudaranya, Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Tapi, setelah musim haji usai, ia tidak langsung kembali ke tanah air. Dorongan menuntut ilmu menyebabkan ia bertahan di Kota Suci Mekkah untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dan negeri lainnya, seperti Imam Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani.
Tiga tahun lamanya ia menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah merasa bekal ilmunya cukup, segeralah ia kembali ke tanah air. Ia lalu mengajar dipesantren ayahnya. Namun, kondisi tanah air agaknya tidak menguntungkan pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir semua ulama Islam mendapat tekanan dari penjajah Belanda. Keadaan itu tidak menyenangkan hati Nawawi. Lagi pula, keinginannya menuntut ilmu di negeri yang telah menarik hatinya, begitu berkobar. Akhirnya, kembalilah Syekh Nawawi ke Tanah Suci.
Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkan ia menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjidil Haram, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Selain menjadi Imam Masjid, ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia.
Laporan Snouck Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Mekkah ditahun 1884-1885 menyebut, Syekh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya. Di antara muridnya yang berasal dari Indonesia adalah KH. Kholil Madura, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang. Mereka inilah yang kemudian hari menjadi ulama-ulama terkenal di tanah air. Sejak 15 tahun sebelum kewafatannya, Syekh Nawawi sangat giat dalam menulis buku. Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Ia termasuk penulis yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai persoalan agama. Paling tidak 34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf Alias Sarkis.
Beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas–Red) seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga sekarang.
Dikenal sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendirian yang khas, Syekh Nawawi amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan umat Islam. Namun demikian, dalam menghadapi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, ia memiliki caranya tersendiri. Syekh Nawawi misalnya, tidak agresif dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti ia kooperatif dengan mereka. Syekh Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka memberikan perhatian kepada dunia ilmu dan para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT.
Dalam bidang syari’at Islamiyah, Syekh Nawawi mendasarkan pandangannya pada dua sumber inti Islam, Alquran dan Al-Hadis, selain juga ijma’ dan qiyas. Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Mazhab Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai ijtihad dan taklid (mengikuti salah satu ajaran), Syekh Nawawi berpendapat, bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Bagi keempat ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat imam mazhab tersebut. Pandangannya ini mungkin agak berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal mazhab fikih, memang keempat ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini.
Apapun, umat Islam patut bersyukur pernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan seperti Syekh Nawawi Al-Bantani. Kini, tahun haul (ulang tahun wafatnya) diperingati puluhan ribu orang di Tanara, Banten, setiap tahunnya.
Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib A’li, sebuah kawasan di pinggiran kota Mekkah, pada 25 Syawal 1314H/1879 M.
oleh: Ust. H. Agus Zainal Arifin
Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…
Syekh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, adalah ulama Indonesia bertaraf internasional, lahir di Kampung Pesisir, Desa Tanara, Kecamatan Tanara, Serang, Banten, 1815. Sejak umur 15 tahun pergi ke Makkah dan tinggal di sana tepatnya daerah Syi’ab Ali, hingga wafatnya 1897, dan dimakamkan di Ma’la. Ketenaran beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Daerah Hijaz adalah daerah yang sejak 1925 dinamai Saudi Arabia (setelah dikudeta oleh Keluarga Saud).
Diantara ulama Indonesia yang sempat belajar ke Beliau adalah Syaikhona Khalil Bangkalan dan Hadratusy Syekh KH Hasyim Asy’ari. Kitab-kitab karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirimkan manuscriptnya dan setelah itu tidak mempedulikan lagi bagaimana penerbit menyebarluaskan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga negara-negara di Timur Tengah. Begitu produktifnya beliau dalam menyusun kitab (semuanya dalam bahasa Arab) hingga orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Riyadlush Shalihin, dll. Namun demikian panggilan beliau adalah Syekh Nawawi bukan Imam Nawawi.
Jumlah kitab beliau yang terkenal dan banyak dipelajari ada sekitar 22 kitab. Beliau pernah membuat tafsir Al-Qur’an berjudul Mirah Labid yang berhasil membahas dengan rinci setiap ayat suci Al-Qur’an. Buku beliau tentang etika berumah tangga, berjudul Uqudul Lijain (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia) telah menjadi bacaan wajib para mempelai yang akan segera menikah. Kitab Nihayatuz Zain sangat tuntas membahas berbagai masalah fiqih (syariat Islam). Sebuah kitab kecil tentang syariat Islam yang berjudul Sullam (Habib Abdullah bin Husein bin Tahir Ba’alawi), diberinya Syarah (penjelasan rinci) dengan judul baru Mirqatus Su’udit Tashdiq. Salah satu karya beliau dalam hal kitab hadits adalah Tanqihul Qoul, syarah Kitab Lubabul Hadith (Imam Suyuthi). Kitab Hadits lain yang sangat terkenal adalah Nashaihul Ibad, yang beberapa tahun yang lalu dibahas secara bergantian oleh Alm. KH Mudzakkir Ma’ruf dan KH Masrikhan (dari Masjid Jami Mojokerto) dan disiarkan berbagai radio swasta di Jawa Timur. Kitab itu adalah syarah dari kitabnya Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Di antara karomah beliau adalah, saat menulis syarah kitab Bidayatul Hidayah (karya Imam Ghozali), lampu minyak beliau padam, padahal saat itu sedang dalam perjalanan dengan sekedup onta (di jalan pun tetep menulis, tidak seperti kita, melamun atau tidur). Beliau berdoa, bila kitab ini dianggap penting dan bermanfaat buat kaum muslimin, mohon kepada Allah SWT memberikan sinar agar bisa melanjutkan menulis. Tiba-tiba jempol kaki beliau mengeluarkan api, bersinar terang, dan beliau meneruskan menulis syarah itu hingga selesai. Dan bekas api di jempol tadi membekas, hingga saat Pemerintah Hijaz memanggil beliau untuk dijadikan tentara (karena badan beliau tegap), ternyata beliau ditolak, karena adanya bekas api di jempol tadi.
Karomah yang lain, nampak saat beberapa tahun setelah beliau wafat, makamnya akan dibongkar oleh pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahadnya akan ditumpuki jenazah lain (sebagaimana lazim di Ma’la). Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila pergi ke Makkah, Insya Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di Pemakaman Umum Ma’la. Banyak juga kaum Muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di Serang, Banten.


Kitab Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari
Nama dan Nasabnya

Nama sebenarnya Syihabuddin Abul Fadhl Ahmadbin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar, al Kinani, al ‘Asqalani, asy Syafi’i, al Mishri.

Kemudian dikenal dengan nama Ibnu Hajar, dan gelarnya “al Hafizh”. Adapun penyebutan ‘Asqalani adalah nisbat kepada ‘Asqalan’, sebuah kota yang masuk dalam wilayah Palestina, dekat Ghuzzah.

Kelahirannya

Beliau lahir di Mesir pada bulan Sya’ban 773 H, namun tanggal kelahirannya diperselisihkan. Beliau tumbuh di sana dan termasuk anak yatim piatu, karena ibunya wafat ketika beliau masih bayi, kemudian bapaknya menyusul wafat ketika beliau masih kanak-kanak berumur empat tahun. Ketika wafat, bapaknya berwasiat kepada dua orang ‘alim untuk mengasuh Ibnu Hajar yang masih bocah itu. Dua orang itu ialah Zakiyuddin al Kharrubi dan Syamsuddin Ibnul Qaththan al Mishri.

Perjalanan Ilmiah Ibnu Hajar

Perjalanan hidup al Hafizh sangatlah berkesan. Meski yatim piatu, semenjak kecil beliau memiliki semangat yang tinggi untuk belajar. Beliau masuk kuttab (semacam Taman Pendidikan al Qur’an) setelah genap berusia lima tahun. Hafal al Qur’an ketika genap berusia sembilan tahun.

Di samping itu, pada masa kecilnya, beliau menghafal kitab-kitab ilmu yang ringkas, seperti al ‘Umdah, al Hawi ash Shagir, Mukhtashar Ibnu Hajib dan Milhatul I’rab. Semangat dalam menggali ilmu, beliau tunjukkan dengan tidak mencukupkan mencari ilmu di Mesir saja, tetapi beliau melakukan rihlah (perjalanan) ke banyak negeri. Semua itu dikunjungi untuk menimba ilmu.

Negeri-negeri yang pernah beliau singgahi dan tinggal disana, di antaranya:

1. Dua tanah haram, yaitu Makkah dan Madinah. Beliau tinggal di Makkah al Mukarramah dan shalat Tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785 H. Yaitu pada umur 12 tahun. Beliau mendengarkan Shahih Bukhari di Makkah dari Syaikh al Muhaddits (ahli hadits) ‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari) kemudian al-Makki Rahimahullah. Dan Ibnu Hajar berulang kali pergi ke Makkah untuk melakukah haji dan umrah.

2. Dimasyq (Damaskus). Di negeri ini, beliau bertemu dengan murid-murid ahli sejarah dari kota Syam, Ibu ‘Asakir Rahimahullah. Dan beliau menimba ilmu dari Ibnu Mulaqqin dan al Bulqini.

3. Baitul Maqdis, dan banyak kota-kota di Palestina, seperti Nablus, Khalil, Ramlah dan Ghuzzah. Beliau bertemu dengan para ulama di tempat-tempat tersebut dan mengambil manfaat.

4. Shana’ dan beberapa kota di Yaman dan menimba ilmu dari mereka. Semua ini, dilakukan oleh al Hafizh untuk menimba ilmu, dan mengambil ilmu langsung dari ulama-ulama besar.

Dari sini kita bisa mengerti, bahwa guru-guru al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqlani sangat banyak, dan merupakan ulama-ulama yang masyhur.

Bisa dicatat, seperti: ‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari) kemudian al-Makki (wafat 790 H), Muhammad bin ‘Abdullah bin Zhahirah al Makki (wafat 717 H), Abul Hasan al Haitsami (wafat 807 H), Ibnul Mulaqqin (wafat 804 H), Sirajuddin al Bulqini Rahimahullah (wafat 805 H) dan beliaulah yang pertama kali mengizinkan al Hafizh mengajar dan berfatwa.

Kemudian juga, Abul-Fadhl al ‘Iraqi (wafat 806 H) –beliaulah yang menjuluki Ibnu Hajar dengan sebutan al Hafizh, mengagungkannya dan mempersaksikan bahwa Ibnu Hajar adalah muridnya yang paling pandai dalam bidang hadits-, ‘Abdurrahim bin Razin Rahimahullah –dari beliau ini al Hafizh mendengarkan shahih al Bukhari-, al ‘Izz bin Jama’ah Rahimahullah, dan beliau banyak menimba ilmu darinya.Tercatat juga al Hummam al Khawarizmi Rahimahullah.

Dalam mengambil ilmu-ilmu bahasa arab, al Hafizh belajar kepada al Fairuz Abadi Rahimahullah, penyusun kitab al Qamus (al Muhith-red), juga kepada Ahmad bin Abdurrahman Rahimahullah. Untuk masalah Qira’atus-sab’ (tujuh macam bacaan al Qur’an), beliau belajar kepada al Burhan at-Tanukhi Rahimahullah, dan lain-lain, yang jumlahnya mencapai 500 guru dalam berbagai cabang ilmu, khususnya fiqih dan hadits. Jadi, al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani mengambil ilmu dari para imam pada zamannya di kota Mesir, dan melakukakan rihlah (perjalanan) ke negeri-negeri lain untuk menimba ilmu, sebagaimana kebiasaan para ahli hadits.

Layaknya sebagai seorang ‘alim yang luas ilmunya, maka beliau juga didatangi para thalibul ‘ilmi (para penuntut ilmu, murid-red) dari berbagai penjuru yang ingin mengambil ilmu dari beliau, sehingga banyak sekali murid beliau. Bahkan tokoh-tokoh ulama dari berbagai madzhab adalah murid-murid beliau. Yang termasyhur misalnya, Imam ash-Shakhawi (wafat 902 H), yang merupakan murid khusus al Hafizh dan penyebar ilmunya, kemudian al Biqa’i (wafat 885 H), Zakaria al-Anshari (wafat 926 H), Ibnu Qadhi Syuhbah (wafat 874 H), Ibnu Taghri Bardi (wafat 874 H), Ibnu Fahd al-Makki (wafat 871 H), dan masih banyak lagi yang lainnya.

Karya-Karyanya

Kepakaran al Hafizh Ibnu Hajar sangat terbukti. Beliau mulai menulis pada usia 23 tahun, dan terus berlanjut sampai mendekti ajalnya. Beliau mendapatkan karunia Allah Ta’ala di dalam karya-karyanya, yaitu keistimewaan-keistimewaan yang jarang didapati pada orang lain. Oleh karena itu, karya-karya beliau banyak diterima umat islam dan tersebar luas, semenjak beliau masih hidup. Para raja dan amir biasa saling memberikan hadiah dengan kitab-kitab Ibnu hajar Rahimahullah. Bahkan sampai sekarang, kita dapati banyak peneliti dan penulis bersandar pada karya-karya beliau Rahimahullah. Di antara karya beliau yang terkenal ialah: Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari, Bulughul Marom min Adillatil Ahkam, al Ishabah fi Tamyizish Shahabah, Tahdzibut Tahdzib, ad Durarul Kaminah, Taghliqut Ta’liq, Inbaul Ghumr bi Anbail Umr dan lain-lain.

Bahkan menurut muridnya, yaitu Imam asy-Syakhawi, karya beliau mencapai lebih dari 270 kitab. Sebagian peneliti pada zaman ini menghitungnya, dan mendapatkan sampai 282 kitab. Kebanyakan berkaitan dengan pembahasan hadits, secara riwayat dan dirayat (kajian).

Mengemban Tugas Sebagai Hakim

Beliau terkenal memiliki sifat tawadhu’, hilm (tahan emosi), sabar, dan agung. Juga dikenal banyak beribadah, shalat malam, puasa sunnah dan lainnya. Selain itu, beliau juga dikenal dengan sifat wara’ (kehati-hatian), dermawan, suka mengalah dan memiliki adab yang baik kepada para ulama pada zaman dahulu dan yang kemudian, serta terhadap orang-orang yang bergaul dengan beliau, baik tua maupun muda. Dengan sifat-sifat yang beliau miliki, tak heran jika perjalanan hidupnya beliau ditawari untuk menjabat sebagai hakim.

Sebagai contohya, ada seorang hakim yang bernama Ashadr al Munawi, menawarkan kepada al Hafizh untuk menjadi wakilnya, namu beliau menolaknya, bahkan bertekad untuk tidak menjabat di kehakiman. Kemudian, Sulthan al Muayyad Rahimahullah menyerahkan kehakiman dalam perkara yang khusus kepada Ibnu Hajar Rahimahullah. Demikian juga hakim Jalaluddin al Bulqani Rahimahullah mendesaknya agar mau menjadi wakilnya.

Sulthan juga menawarkan kepada beliau untuk memangku jabatan Hakim Agung di negeri Mesir pada tahun 827 H. Waktu itu beliau menerima, tetapi pada akhirnya menyesalinya, karena para pejabat negara tidak mau membedakan antara orang shalih dengan lainnya. Para pejabat negara juga suka mengecam apabila keinginan mereka ditolak, walaupun menyelisihi kebenaran. Bahkan mereka memusuhi orang karena itu. Maka seorang hakim harus bertolak-ansur dengan banyak pihak sehingga sangat menyulitkan untuk menegakkan keadilan.

Setelah satu tahun, yaitu tanggal 7 atau 8 Dzulqa’idah 828 H, akhirnya beliau mengundurkan diri. Pada tahun ini pula, Sulthan memintanya lagi dengan sangat, agar beliau menerima jabatan sebagai hakim kembali. Sehingga al Hafizh memandang, jika hal tersebut wajib bagi beliau, yang kemudian beliau menerima jabatan tersebut tanggal 2 rajab. Masyarakatpun sangat bergembira, karena memang mereka sangat mencintai beliau. Kekuasaan beliau pun ditambah, yaitu diserahkannya kehakiman kota Syam kepada beliau pada tahun 833 H. Jabatan sebagai hakim, beliau jalani pasang surut. Terkadang beliau memangku jabatan hakim itu, dan terkadang meninggalkannya. Ini berulang sampai tujuh kali. Penyebabnya, karena banyaknya fitnah, keributan, fanatisme dan hawa nafsu.

Jika dihitung, total jabatan kehakiman beliau mencapai 21 tahun semenjak menjabat hakim Agung. Terakhir kali beliau memegang jabatan hakim, yaitu pada tanggal 8 Rabi’uts Tsani 852 H, tahun beliau wafat.

Selain kehakiman, beliau juga memilki tugas-tugas:

• Berkhutbah di Masjid Jami’ al Azhar.

• Berkhutbah di Masjid Jami’ ‘Amr bin al Ash di Kairo.

• Jabatan memberi fatwa di Gedung Pengadilan.

Di tengah-tengah mengembang tugasnya, beliau tetap tekun di dalam samudera ilmu, seperti mengkaji dan meneliti hadits-hadits, membacanya, membacakan kepada umat, menyusun kitab-kitab, mengajar tafsir, hadits, fiqih dan ceramah di berbagai tempat, juga mendiktekan dengan hafalannya. Beliau mengajar sampai 20 madrasah. Banyak orang-orang utama dan tokoh-tokoh ulama yang mendatanginya dan mengambil ilmu darinya.

Kedudukannya

Ibnu Hajar Rahimahullah menjadi salah satu ulama kebanggaan umat, salah satu tokoh dari kalangan ulama, salah satu pemimpin ilmu. Allah Ta’ala memberikan manfaat dengan ilmu yang beliau miliki, sehingga lahirlah murid-murid besar dan disusunnya kitab-kitab.

Seandainya kitab beliau hanya Fathul Bari, cukuplah untuk meninggikan dan menunjukkan keagungan kedudukan beliau. Karena kitab ini benar-benar merupakan kamus Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaii wasallam. Sedangkan karya beliau berjumlah lebih dari 150 kitab.

Syaikh al Albani Rahimahullah mengatakan, Adalah merupakan kedzaliman jika mengatakan mereka (yaitu an-Nawawi dan Ibnu Hajar al ‘Asqalani) dan orang-orang semacam mereka termasuk ke dalam golongan ahli bid’ah. Menurut Syaikh al Albani, meskipun keduanya beraqidah Asy’ariyyah, tetapi mereka tidak sengaja menyelisihi al Kitab dan as Sunnah.

Anggapan mereka, aqidah Asy’ariyyah yang mereka warisi itu adalah dua hal:

Pertama, bahwa Imam al Asy’ari mengatakannya, padahal beliau tidak mengatakannya, kecuali pada masa sebelumnya, (lalu beliau tinggalkan dan menuju aqidah Salaf,).

Kedua, mereka menyangka sebagai kebenaran, padahal tidak.

Wafatnya

Ibnu Hajar wafat pada tanggal 28 Dzulhijjah 852 H di Mesir, setelah kehidupannya dipenuhi dengan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, menurut sangkaan kami, dan kami tidak memuji di hadapan Allah terhadap seorangpun. Beliau dikuburkan di Qarafah ash-Shugra. Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas, memaafkan dan mengampuninya dengan karunia dan kemurahanNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar