Minggu, 13 Maret 2011

Rabu, 09 Februari 2011

SEJARAH AL BARZANJI dan Ad-Diba'i

SEJARAH AL BARZANJI (kitab ad-diba'i)
Rabu, 18 Agustus 2010
Al-Barzanji atau Berzanji adalah suatu do’a-do’a, puji-pujian dan penceritaan riwayat Nabi Muhammad saw yang biasa dilantunkan dengan irama atau nada. Isi Berzanji bertutur tentang kehidupan Nabi Muhammad saw yakni silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga diangkat menjadi rasul. Didalamnya juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.

Nama Barzanji diambil dari nama pengarangnya, seorang sufi bernama Syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad Al – Barzanji. Beliau adalah pengarang kitab Maulid yang termasyur dan terkenal dengan nama Mawlid Al-Barzanji. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul 'Iqd Al-Jawahir (kalung permata) atau 'Iqd Al-Jawhar fi Mawlid An-Nabiyyil Azhar. Barzanji sebenarnya adalah nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzanj. Nama Al-Barzanji menjadi populer tahun 1920-an ketika Syaikh Mahmud Al-Barzanji memimpin pemberontakan nasional Kurdi terhadap Inggris yang pada waktu itu menguasai Irak.

Kitab Maulid Al-Barzanji karangan beliau ini termasuk salah satu kitab maulid yang paling populer dan paling luas tersebar ke pelosok negeri Arab dan Islam, baik Timur maupun Barat. Bahkan banyak kalangan Arab dan non-Arab yang menghafalnya dan mereka membacanya dalam acara-acara keagamaan yang sesuai. Kandungannya merupakan Khulasah (ringkasan) Sirah Nabawiyah yang meliputi kisah kelahiran beliau, pengutusannya sebagai rasul, hijrah, akhlaq, peperangan hingga wafatnya. Syaikh Ja'far Al-Barzanji dilahirkan pada hari Kamis awal bulan Zulhijjah tahun 1126 di Madinah Al-Munawwaroh dan wafat pada hari Selasa, selepas Asar, 4 Sya’ban tahun 1177 H di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam beliau dari kalangan anak-anak perempuan Junjungan Nabi saw.

Sayyid Ja'far Al-Barzanji adalah seorang ulama' besar keturunan Nabi Muhammad saw dari keluarga Sa’adah Al Barzanji yang termasyur, berasal dari Barzanj di Irak. Datuk-datuk Sayyid Ja'far semuanya ulama terkemuka yang terkenal dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan keshalihannya. Beliau mempunyai sifat dan akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan pemurah.

Nama nasabnya adalah Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a.

Semasa kecilnya beliau telah belajar Al-Quran dari Syaikh Ismail Al-Yamani, dan belajar tajwid serta membaiki bacaan dengan Syaikh Yusuf As-So’idi dan Syaikh Syamsuddin Al-Misri.Antara guru-guru beliau dalam ilmu agama dan syariat adalah : Sayid Abdul Karim Haidar Al-Barzanji, Syeikh Yusuf Al-Kurdi, Sayid Athiyatullah Al-Hindi. Sayid Ja’far Al-Barzanji telah menguasai banyak cabang ilmu, antaranya: Shoraf, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin, Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, A’rudh, Kalam, Lughah, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal, Mustholah.

Syaikh Ja’far Al-Barzanji juga seorang Qodhi (hakim) dari madzhab Maliki yang bermukim di Madinah, merupakan salah seorang keturunan (buyut) dari cendekiawan besar Muhammad bin Abdul Rasul bin Abdul Sayyid Al-Alwi Al-Husain Al-Musawi Al-Saharzuri Al-Barzanji (1040-1103 H / 1630-1691 M), Mufti Agung dari madzhab Syafi’i di Madinah. Sang mufti (pemberi fatwa) berasal dari Shaharzur, kota kaum Kurdi di Irak, lalu mengembara ke berbagai negeri sebelum bermukim di Kota Sang Nabi. Di sana beliau telah belajar dari ulama'-ulama' terkenal, diantaranya Syaikh Athaallah ibn Ahmad Al-Azhari, Syaikh Abdul Wahab At-Thanthowi Al-Ahmadi, Syaikh Ahmad Al-Asybuli. Beliau juga telah diijazahkan oleh sebahagian ulama’, antaranya : Syaikh Muhammad At-Thoyib Al-Fasi, Sayid Muhammad At-Thobari, Syaikh Muhammad ibn Hasan Al A’jimi, Sayid Musthofa Al-Bakri, Syaikh Abdullah As-Syubrawi Al-Misri.

Syaikh Ja'far Al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdo’a untuk hujan pada musim-musim kemarau.

Historisitas Al-Barzanji tidak dapat dipisahkan dengan momentum besar perihal peringatan maulid Nabi Muhammad saw untuk yang pertama kali. Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad saw pada mulanya diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang keras mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan Inggris.

Kita mengenal itu sebagai Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem dan menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat Islam terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu khalifah tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun hanya sebagai lambang persatuan spiritual.

Adalah Sultan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi -dalam literatur sejarah Eropa dikenal dengan nama Saladin, seorang pemimpin yang pandai mengena hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub- katakanlah dia setingkat Gubernur. Meskipun Salahuddin bukan orang Arab melainkan berasal dari suku Kurdi, pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Menurut Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini harus dirayakan secara massal.

Sebenarnya hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi yang menjadi Atabeg (setingkat Bupati) di Irbil, Suriah Utara. Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan maulid nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun. Adapun Salahuddin ingin agar perayaan maulid nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.

Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah di Baghdad yakni An-Nashir, ternyata Khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H / 1183 M, Salahuddin sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 / 1184 M tanggal 12 Rabiul Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.

Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.

Salah satu kegiatan yang di prakarsai oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji.

Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.

Kitab Al-Barzanji ditulis dengan tujuan untuk meningkatkan kecintaan kepada Rasulullah SAW dan meningkatkan gairah umat. Dalam kitab itu riwayat Nabi saw dilukiskan dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi dan prosa (nasr) dan kasidah yang sangat menarik. Secara garis besar, paparan Al-Barzanji dapat diringkas sebagai berikut: (1) Sislilah Nabi adalah: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kitab bin Murrah bin Fihr bin Malik bin Nadar bin Nizar bin Maiad bin Adnan. (2) Pada masa kecil banyak kelihatan luar biasa pada dirinya. (3) Berniaga ke Syam (Suraih) ikut pamannya ketika masih berusia 12 tahun. (4) Menikah dengan Khadijah pada usia 25 tahun. (5) Diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun, dan mulai menyiarkan agama sejak saat itu hingga umur 62 tahun. Rasulullah meninggal di Madinah setelah dakwahnya dianggap telah sempurna oleh Allah SWT.

Dalam Barzanji diceritakan bahwa kelahiran kekasih Allah ini ditandai dengan banyak peristiwa ajaib yang terjadi saat itu, sebagai genderang tentang kenabiannya dan pemberitahuan bahwa Nabi Muhammad adalah pilihan Allah. Saat Nabi Muhammad dilahirkan tangannya menyentuh lantai dan kepalanya mendongak ke arah langit, dalam riwayat yang lain dikisahkan Muhammad dilahirkan langsung bersujud, pada saat yang bersamaan itu pula istana Raja Kisrawiyah retak terguncang hingga empat belas berandanya terjatuh. Maka, Kerajaan Kisra pun porak poranda. Bahkan, dengan lahirnya Nabi Muhammad ke muka bumi mampu memadamkan api sesembahan Kerajaan Persi yang diyakini tak bisa dipadamkan oleh siapapun selama ribuan tahun.

Keagungan akhlaknya tergambarkan dalam setiap prilaku beliau sehari-hari. Sekitar umur tiga puluh lima tahun, beliau mampu mendamaikan beberapa kabilah dalam hal peletakan batu Hajar Aswad di Ka’bah. Di tengah masing-masing kabilah yang bersitegang mengaku dirinya yang berhak meletakkan Hajar Aswad, Rasulullah tampil justru tidak mengutamakan dirinya sendiri, melainkan bersikap akomodatif dengan meminta kepada setiap kabilah untuk memegang setiap ujung sorban yang ia letakan di atasnya Hajar Aswad. Keempat perwakilan kabilah itu pun lalu mengangkat sorban berisi Hajar Aswad, dan Rasulullah kemudian mengambilnya lalu meletakkannya di Ka’bah.

Kisah lain yang juga bisa dijadikan teladan adalah pada suatu pengajian seorang sahabat datang terlambat, lalu ia tidak mendapati ruang kosong untuk duduk. Bahkan, ia minta kepada sahabat yang lain untuk menggeser tempat duduknya, namun tak ada satu pun yang mau. Di tengah kebingungannya, Rasulullah saw memanggil sahabat tersebut dan memintanya duduk di sampingnya.. Tidak hanya itu, Rasul kemudian melipat sorbannya lalu memberikannya pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Melihat keagungan akhlak Nabi Muhammad, sahabat tersebut dengan berlinangan air mata lalu menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk, tetapi justru mencium sorban Nabi Muhammad saw tersebut.

Bacaan shalawat dan pujian kepada Rasulullah bergema saat kita membacakan Barzanji di acara peringatan maulid Nabi Mauhammad saw, Ya Nabi salâm ‘alaika, Ya Rasûl salâm ‘alaika, Ya Habîb salâm ‘alaika, ShalawatulLâh ‘alaika... (Wahai Nabi salam untukmu, Wahai Rasul salam untukmu, Wahai Kekasih salam untukmu, Shalawat Allah kepadamu…)

Kemudian, apa tujuan dari peringatan maulid Nabi dan bacaan shalawat serta pujian kepada Rasulullah? Dr. Sa’id Ramadlan Al-Bûthi menulis dalam Kitab Fiqh Al-Sîrah Al-Nabawiyyah: “Tujuannya tidak hanya untuk sekedar mengetahui perjalanan Nabi dari sisi sejarah saja. Tapi, agar kita mau melakukan tindakan aplikatif yang menggambarkan hakikat Islam yang paripurna dengan mencontoh Nabi Muhammad saw.”

Sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel dalam bukunya, Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi saw dalam Islam (1991), , menerangkan bahwa teks asli karangan Ja’far Al-Barzanji, dalam bahasa Arab, sebetulnya berbentuk prosa. Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks itu menjadi untaian syair, sebentuk eulogy bagi Sang Nabi. Pancaran kharisma Nabi Muhammad saw terpantul pula dalam sejumlah puisi, yang termasyhur: Seuntai gita untuk pribadi utama, yang didendangkan dari masa ke masa.

Untaian syair itulah yang tersebar ke berbagai negeri di Asia dan Afrika, tak terkecuali Indonesia. Tidak tertinggal oleh umat Islam penutur bahasa Swahili di Afrika atau penutur bahasa Urdu di India, kita pun dapat membaca versi bahasa Indonesia dari syair itu, meski kekuatan puitis yang terkandung dalam bahasa Arab kiranya belum sepenuhnya terwadahi dalam bahasa kita sejauh ini.

Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far Al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad saw. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: ‘Natsar’ dan ‘Nadhom’. Bagian Natsar terdiri atas 19 sub bagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad saw, mulai dari saat-saat menjelang beliau dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian Nadhom terdiri atas 16 sub bagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.

Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian Nadhom misalnya, antara lain diungkapkan sapaan kepada Nabi pujaan” Engkau mentari, Engkau rebulan dan Engkau cahaya di atas cahaya“.

Di antara idiom-idiom yang terdapat dalam karya ini, banyak yang dipungut dari alam raya seperti matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Idiom-idiom seperti itu diolah sedemikian rupa, bahkan disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga melahirkan sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya, dilukiskan sebagai “Untaian Mutiara”.

Betapapun, kita dapat melihat teks seperti ini sebagai tutur kata yang lahir dari perspektif penyair. Pokok-pokok tuturannya sendiri, terutama menyangkut riwayat Sang Nabi, terasa berpegang erat pada Alquran, hadist, dan sirah nabawiyyah. Sang penyair kemudian mencurahkan kembali rincian kejadian dalam sejarah ke dalam wadah puisi, diperkaya dengan imajinasi puitis, sehingga pembaca dapat merasakan madah yang indah.

Salah satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya Ja’far Al-Barzanji adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini kiranya telah ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam diberbagai negeri menghormati sosok dan perjuangan Nabi Muhammad saw.

Kitab Maulid Al-Barzanji ini telah disyarahkan oleh Al-'Allaamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abu 'Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299 H dengan satu syarah yang memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan ‘Al-Qawl Al-Munji 'ala Mawlid Al-Barzanji’ yang telah banyak kali diulang cetaknya di Mesir.

Di samping itu, telah disyarahkan pula oleh para ulama kenamaan umat ini. Antara yang masyhur mensyarahkannya ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad 'Ilyisy Al-Maaliki Al-'Asy'ari Asy-Syadzili Al-Azhari dengan kitab ’Al-Qawl Al-Munji 'ala Maulid Al-Barzanji’. Beliau ini adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan menjalankan Thoriqah Asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217 H / 1802M dan wafat pada tahun 1299 H / 1882M.

Ulama kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal sebagai ulama dan penulis yang produktif dengan banyak karangannya, yaitu Sayyidul Ulamail Hijaz, An-Nawawi Ats-Tsani, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi turut menulis syarah yang lathifah bagi Maulid al-Barzanji dan karangannya itu dinamakannya ‘Madaarijush Shu`uud ila Iktisaail Buruud’. Kemudian, Sayyid Ja'far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal 'Abidin bin Sayyid Muhammad Al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami kepada satu-satunya anak Sayyid Ja'far al-Barzanji, juga telah menulis syarah bagi Maulid Al-Barzanj tersebut yang dinamakannya ‘Al-Kawkabul Anwar 'ala 'Iqdil Jawhar fi Maulidin Nabiyil Azhar’. Sayyid Ja'far ini juga adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif. Beliau juga merupakan seorang Mufti Syafi`iyyah. Karangan-karangan beliau banyak, antaranya: "Syawaahidul Ghufraan 'ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaail Ramadhan", "Mashaabiihul Ghurar 'ala Jaliyal Kadar" dan "Taajul Ibtihaaj 'ala Dhauil Wahhaaj fi Israa` wal Mi'raaj". Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan hidup dan ketinggian nendanya Sayyid Ja'far Al-Barzanji dalam kitabnya "Ar-Raudhul A'thar fi Manaqib As-Sayyid Ja'far".

Kitab Al-Barzanji dalam bahasa aslinya (Arab) dibacakan dalam berbagai macam lagu; rekby (dibaca perlahan), hejas (dibaca lebih keras dari rekby ), ras (lebih tinggi dari nadanya dengan irama yang beraneka ragam), husein (memebacanya dengan tekanan suara yang tenang), nakwan membaca dengan suara tinggi tapi nadanya sama dengan nada ras, dan masyry, yaitu dilagukan dengan suara yang lembut serta dibarengi dengan perasaan yang dalam.

Di berbagai belahan Dunia Islam, syair Barzanji lazimnya dibacakan dalam kesempatan memeringati hari kelahiran Sang Nabi. Dengan mengingat-ingat riwayat Sang Nabi, seraya memanjatkan shalawat serta salam untuknya, orang berharap mendapat berkah keselamatan, kesejahteraan, dan ketenteraman. Sudah lazim pula, tak terkecuali di negeri kita, syair Barzanji didendangkan – biasanya, dalam bentuk standing ovation – dikala menyambut bayi yang baru lahir dan mencukur rambutnya.

Pada perkembangan berikutnya, pembacaan Barzanji dilakukan di berbagai kesempatan sebagai sebuah pengharapan untuk pencapaian sesuatu yang lebih baik. Misalnya pada saat kelahiran bayi, upacara pemberian nama, mencukur rambut bayi, aqiqah, khitanan, pernikahan, syukuran, kematian (haul), serta seseorang yang berangkat haji dan selama berada disana. Ada juga yang hanya membaca Barzanji dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti penampilan kesenian hadhrah, pengumuman hasil berbagai lomba, dan lain-lain, dan puncaknya ialah mau’idhah hasanah dari para muballigh atau da'i.

Kini peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan kehidupan warga Nahdlatul Ulama (NU). Hari Senin tanggal 12 Rabi'ul Awal kalender hijriyah (Maulud). Acara yang disuguhkan dalam peringatan hari kelahiran Nabi ini amat variatif, dan kadang diselenggarakan sampai hari-hari bulan berikutnya, bulan Rabius Tsany (Bakda Mulud). Ada yang hanya mengirimkan masakan-masakan spesial untuk dikirimkan ke beberapa tetangga kanan dan kiri, ada yang menyelenggarakan upacara sederhana di rumah masing-masing, ada yang agak besar seperti yang diselenggarakan di mushala dan masjid-masjid, bahkan ada juga yang menyelenggarakan secara besar-besaran, dihadiri puluhan ribu umat Islam.

Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang amalan seorang muslim yang pada zaman Nabi tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah sebab Rasulullah sendiri sering membacanya), mau’idhah hasanah pada acara temanten dan mauludan.

Dalam 'Madarirushu’ud Syarhul' Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda: "Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa'at kepadanya di hari kiamat." Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”


Ad-Diba’i
يا بدر تم حاز كل كمال # ماذا يعبر عن علاك مقالي
Wahai purnama yang memiliki segala kesempurnaan
Dengan ucapan apa bisa kuungkapkan kemuliaanmu

Maqbarah Syeikh Isma'il Jabarti (Zabid) yang di dalamnya terdapat maqam Abdurrahman Ad Diba'i

Pelantun syair pujian atas Nabi Muhammad SAW. yang lebih dikenal dengan Maulid Diba` ini, bernama lengkap Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Yusuf bin Ahmad bin Umar Ad Diba`i Asy Syaibaniy, beliau juga dikenal dengan julukan Ibn Diba`. Sebenarnya kata "Diba`" adalah julukan (laqob) kakeknya yang bernama Ali bin Yusuf Diba` yang dalam bahasa Sudan berarti putih. Dalam kitabnya yang berjudul Bughyatul Mustafid, beliau menuliskan di bagaian akhir kitab tersebut tentang sekilas riwayat hidupnya. Disebutkan bahwa beliau dilahirkan di kota Zabid (salah satu kota di Yaman utara) pada sore hari Kamis, 4 Muharram, 866 H.

Sekilas Geografis Zabid
Zabid adalah salah satu kota tua yang terletak di Yaman utara. Sekarang kota Zabid termasuk dalam kawasan propinsi Hudaidah. Letak geografisnya berada di tengah-tengah lembah Zabid, yang berjarak 40 kilometer dari laut merah. Dahulu kota Zabid dikenal juga dengan nama "Hushoib".
Zabid merupakan salah satu kota pusat keilmuan di Yaman, di mana sejarah mencatat banyak ulama-ulama dari berbagai penjuru belahan dunia yang datang untuk menuntut ilmu atau sekedar mencari sanad hadis di kota ini. Bahkan tak jarang dari mereka yang akhirnya enggan kembali ke daerah asalnya dan memilih untuk tinggal di kota Zabid sampai akhir hayatnya.
Kota ini sudah dikenal sejak masa hidupnya Nabi Muhammad SAW, tepatnya pada tahun ke-8 Hijriyah. Di mana saat itu datanglah rombongan suku Asy`ariah (di antaranya adalah Abu Musa Al Asy`ari) yang berasal dari Zabid ke Madinah Al Munawwaroh untuk memeluk agama Islam dan mempelajari ajaran-ajarannya. Karena begitu senangnya atas kedatangan mereka, Nabi Muhammad SAW. berdoa memohon semoga Allah SWT. memberkahi kota Zabid dan Nabi mengulangi doanya sampai tiga kali (HR. Al Baihaqi). Dan berkat barokah doa Nabi, hingga saat ini, nuansa tradisi keilmuan di Zabid masih bisa dirasakan. Hal ini karena generasi ulama di kota ini sangat gigih menjaga tradisi khazanah keilmuan Islam.
Di Zabid terdapat masjid Asya`ir yang dibangun sejak tahun ke-8 Hijriyah, masjid yang dibangun oleh Abu Musa Al Asy`ari ini merupakan salah satu dari ketiga masjid yang dibangun oleh sahabat Nabi di Negeri Saba' (Yaman).

Masa Kecil Ibn Diba`
Pengarang Maulid Diba`i ini lahir ketika ayahnya sedang bepergian, dan sampai akhir hayatnya beliau tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Beliau diasuh oleh kakek dari ibunya yang bernama Syeikh Syarafuddin bin Muhammad Mubariz yang juga seorang ulama besar yang tersohor di kota Zabid saat itu. Meskipun demikian, ketiadaan sosok ayah tidak menjadi penghalang bagi Ibn Diba` untuk menuntut ilmu pada ulama-ulama besar Zabid.
Semenjak kecil, Ibn Diba` sudah sangat giat dalam menimba ilmu kepada para ulama. Beliau belajar membaca Al Quran dibawah bimbingan Syeikh Nuruddin Ali bin Abu Bakar lalu berpindah kepada mufti Zabid Syeikh Jamaluddin Muhammad Atthoyyib yang masih terhitung pamannya sendiri. Setelah gurunya melihat bakat kecerdasan istimewa yang dimiliki Ibn Diba`, maka sang Mufti menyuruhnya untuk membaca Al Quran dari awal hingga akhir. Berkat kecerdasan dan ketekunan, beliau sudah bisa menghafal Al Quran saat masih berusia sepuluh tahun.
Tak lama setelah beliau berhasil menghatamkan Al Quran, Ibn Diba' mendengar berita duka bahwa ayahnya telah meninggal dunia di salah satu daerah di daratan India. Beliau mendapatkan harta warisan sebanyak 8 Dinar. Meninggalnya ayah beliau tak memadamkan motivasi Ibn Diba` dalam menuntut ilmu, malah sebaliknya beliau makin semangat. Setelah peristiwa itu, beliau memutuskan untuk belajar ilmu Qiroat dengan mengaji Nadzom (bait) Syatibiyah dan juga mempelajari ilmu Bahasa (gramatika), Matematika, Faroidl, Fikih, dengan masih di bawah bimbingan pamannya. Atas arahan pamannya, beliau disuruh untuk mengaji kitab Zubad (nadlom Fiqh madzhab Syafi`i) kepada Syeikh Umar bin Muhammad Al Fata Al Asy`ari.

Ibn Diba' Menimba llmu
Kemudian setelah menghatamkan kitab Zubad, dengan bermodal uang harta warisan yang didapat dari ayahnya, Ibn Diba` menempuh perjalanan jauh menuju tanah Haram Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Sepulang dari Makkah, beliau disambut dengan berita duka bahwa kakeknya meninggal dunia. Sepeninggal kakeknya, Ibn Diba` tinggal bersama pamannya sambil tetap mengkaji beberapa ilmu di bawah bimbingan pamannya.
Pada tahun 885 H. beliau berangkat ke Makkah lagi untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya. Sepulang dari Makkah, Ibn Diba` kembali lagi ke Zabid. Beliau mengkaji ilmu Hadis dengan membaca Shohih Bukhori, Muslim, Tirmidzi, Al Muwattho` di bawah bimbingan Syeikh Zainuddin Ahmad bin Ahmad Asy Syarjiy. Di tengah-tengah sibuknya belajar Hadis, Ibn Diba' menyempatkan diri untuk mengarang kitab Ghoyatul Mathlub yang membahas tentang kiat-kiat bagi umat Muslim agar mendapat ampunan dari Allah SWT. Tak puas dengan hanya belajar Hadis, Ibn Diba` lalu belajar Fikih dengan membaca kitab Minhajuttholibin dan Haawi Shoghir kepada Syeikh Jamaluddin bin Ahmad bin Jaghman dan membaca kitab-kitab hadis kepada Syeikh Burhanuddin bin Jaghman.
Pada tahun 896 H. beliau berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji yang ketiga kalinya. Beliau berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. di Madinah. Setelah itu kembali lagi ke Makkah untuk menuntut ilmu Hadis kepada para ulama tanah Haram, di antara gurunya Syeikh Syamsuddin Muhammad bin Abdurrahman Assyakhowi, seorang ulama Hadis yang tersohor kala itu.
Sepulang dari Makkah beliau mengarang kitab Kasyfu Al Kirbah dan Bughyat Al Mustafid. Karena kehebatan karangannya, beliau mendapat pujian dari Sultan Dzofir `Amir bin Abdul Wahab, dan memintanya untuk hadir ke istananya. Sulthan Dzofir lalu memberikan usulan untuk menambal kekurangan-kekurangan yang ada di kitabnya. Sebelum pulang ke Zabid beliau diberi hadiah sebuah rumah dan sepetak kebun kurma di kota Zabid. Dan Sultan tadi memintanya untuk mengajar ilmu Hadis di masjid Jami` Zabid.

Kebiasaan dan Karya-karya Ibn Diba'
Beliau adalah salah seorang ulama ahli Hadis yang terkemuka pada abad ke-9 H. kehebatannya dalam bidang Hadis telah diakui oleh para ulama, sehingga banyak yang datang kepadanya untuk meminta sanad Hadis dan mendalami ilmu Hadis. Meskipun demikian, Hal itu tak membuatnya berbesar hati, tapi sebaliknya dia makin tawaddlu` (rendah hati).
Ibn Diba' mempunyai kebiasaan untuk membaca surat Al Fatihah dan menganjurkan kepada murid-murid dan orang sekitarnya untuk sering membaca surat Al Fatihah. Sehingga setiap orang yang datang menemui beliau harus membaca Fatihah sebelum mereka pulang. Hal ini tidak lain karena beliau pernah mendengar salah seorang gurunya pernah bermimpi, bahwa hari kiamat telah datang lalu dia mendengar suara, “ Wahai orang Yaman masuklah ke surga Allah.” Lalu orang-orang bertanya, “Kenapa orang-orang Yaman bisa masuk surga ?” Kemudian dijawab, "karena mereka sering membaca surat Al Fatihah".
Ibn Diba` termasuk ulama yang produktif dalam menulis. Hal ini terbukti beliau mempunyai banyak karangan baik di bidang Hadis ataupun Sejarah. Karyanya yang paling dikenal adalah syair-syair sanjungan (madah) atas Nabi Muhammad SAW. yang terkenal dengan sebutan Maulid Diba`i, Meskipun ada yang menisbatkan Maulid ini kepada Ibn Jauzi, hanya saja pendapat ini sangat lemah.
Di antara buah karyanya yang lain: Qurrotul `Uyun yang membahas tentang seputar Yaman, kitab Mi`roj, Taisiirul Usul, Bughyatul Mustafid dan beberapa bait syair. Beliau mengabdikan dirinya hinga akhir hayatnya sebagai pengajar dan pengarang kitab. Ibn Diba'i wafat di kota Zabid pada pagi hari Jumat, tanggal 26 Rajab, 944 H.

Jumat, 21 Januari 2011

MENERIMA SANTRI BARU 1432 H

Madrasah diniyah Al-Ujroh menerima pendaftaran santiawan/wati baru tahun ajaran 1432 H
untuk lebih jelas bisa menghubungi ke sekretariat pendaftaran Jl. Kapten Yusuf Cikaret Gg. Kosasih Rt.01/08 Bogor 16610 – Jawa Barat Indonesia
Email : ypi_alujroh@yahoo.com Telp. 085695732229 / 081388778672

BIOGRAFI ULAMA SALAFI

Siapakah Syekh Imam Ahmad At Tijani?
Tentang pengenalan syekh Ahmad At Tijani, saya akan mengurai Sekilas Biografi Syekh Ahmad al-Tijani. Semoga bermanfaat.
Syekh Ahmad al-Tijani, dilahirkan pada tahun 1150 H. (1737 M.) di `Ain Madi, sebuah desa di Al-Jazair. Syekh Ahmad al-Tijani memiliki nasab sampai kepada Rasulullah saw. lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Ibn Muhammad Ibn Mukhtar Ibn Ahmab Ibn Muhammad Ibn Salam Ibn Abi al-Id Ibn Salim Ibn Ahmad al-`Alawi Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Abbas Ibn Abd Jabbar Ibn Idris Ibn Ishak Ibn Zainal Abidin Ibn Ahmad Ibn Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah Ibn Abdullah al-Kamil Ibn Hasan al-Musana Ibn Hasan al-Sibti Ibn Ali Ibn Abi Thalib, dari Sayyidah Fatimah al-Zahra putri Rasuluullah saw.
Beliau wafat pada hari Kamis, tanggal 17 Syawal tahun 1230 H., dan dimakamkan di kota Fez Maroko.
Sejak umur tujuh tahun Syekh Ahmad al-Tijani telah hafal al-Qur’an dan sejak kecil beliau telah mempelajari berbagai cabang ilmu seperti ilmu Usul, Fiqh, dan sastra. Dikatakan, sejak usia remaja, Syekh Ahmad al-Tijani telah menguasai dengan mahir berbagai cabang ilmu agama Islam, sehingga pada usia dibawah 20 tahun beliau telah mengajar dan memberi fatwa tentang berbagai masalah agama.
Pada usia 21 tahun, tepatnya pada tahun 1171 H. Syekh Ahmad al-Tijani pindah ke kota Fez Maroko. untuk memperdalam ilmu tasawuf. Selama di Fez beliau menekuni ilmu tasawuf melalui kitab Futuhat al-Makiyyah, di bawah bimbingan al-Tayyib Ibn Muhammad al-Yamhalidan Muhammad Ibn al-Hasan al-Wanjali. Al-Wanjali mengatakan kepada Syekh Ahmad al-Tijani : “Engkau akan mencapai maqam kewalian sebagaimana maqam al-Syazili”. Selanjutnya beliau menjumpai Syekh Abdullah Ibn Arabi al-Andusia, dan kepadanya dikatakan : (Semoga Allah membimbingmu); “Kata-kata ini di ulang sampai tiga kali”. Kemudian beliau berguru kepada Syekh Ahmad al-Tawwasi, dan mendapat bimbingan untuk persiapan masa lanjut. Ia menyarankan kepada Syekh Ahmad al-Tijani untuk berkhalwat (menyendiri) dan berzikir (zikr) sampai Allah memberi keterbukaan (futuh). Kemudian ia mengatakan : “Engkau akan memperoleh kedudukan yang agung (maqam ‘azim)”.
Ketika Syekh Ahmad al-Tijani memasuki usia 31 tahun, beliau mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah swt., melalui amalan beberapa thariqat. Thariqat pertama yang beliau amalkan adalah thariqat Qadiriyah, kemudian pindah mengamalkan thariqat Nasiriyah yang diambil dari Abi Abdillah Muhammad Ibn Abdillah, selanjutnya mengamalkan thariqat Ahmad al-Habib Ibn Muhammaddan kemudian mengamalkan thariqat Tawwasiyah. Setelah beliau mengamalkan beberapa thariqat tadi, kemudian beliau pindah ke Zawiyah (pesantren sufi) Syekh Abd al-Qadir Ibn Muhammad al-Abyadh.
Pada tahun 1186 H. Beliau berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji. Ketika beliau tiba di Aljazair, beliau menjumpai Sayyid Ahmad Ibn Abd al-Rahman al-Azhari seorang tokoh thariqat Khalwatiah, dan beliau mendalami ajaran thariqat ini. Kemudian beliau berangkat ke Tunise dan menjumpai seorang Wali bernama Syekh Abd al-Samad al-Rahawi. Di kota ini beliau belajar thariqat sambil mengajar tasawuf.
Ajaran dan Dzikir Tarekat Tijaniyah
Sejauh ini at-Tijani tidak meninggalkan karya tulis tasawuf yang diajarkan dalam tarekatnya. Ajaran-ajaran tarekat ini hanya dapat dirujuk dalam bentuk buku-buku karya murid-muridnya, misalnya Jawahir al-Ma’ani wa Biligh al-Amani fi-Faidhi as-Syekh at-Tijani, Kasyf al-Hijab Amman Talaqqa Ma’a at-Tijani min al-Ahzab, dan As-Sirr al-Abhar fi-Aurad Ahmad at-Tijani. Dua kitab yang disebut pertama ditulis langsung oleh murid at-Tijani sendiri, dan dipakai sebagai panduan para muqaddam dalam persyaratan masuk ke dalam Tarekat Tijaniyah pada abad ke-19.
Tarekat Tijaniyah mempunyai wirid yang sangat sederhana dan wadhifah yang sangat mudah. Wiridnya terdiri dari Istighfar, Shalawat dan Tahlil yang masing-masing dibaca sebanyak 100 kali. Boleh dilakukan dua kali dalam sehari, setelah shalat Shubuh dan Ashar. Wadhifahnya terdiri dari Istghfar (astaghfirullah al-adzim alladzi laa ilaha illa hua al hayyu al-qayyum) sebanyak 30 kali, Shalawat Fatih (Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad al-fatih lima ughliqa wa al-khatim lima sabaqa, nasir al-haqq bi al-haqq wa al-hadi ila shirat al-mustaqim wa’ala alihi haqqaqadruhu wa miqdaruh al-adzim) sebanyak 50 kali, Tahlil (La ilaaha illallah) sebanyak 100 kali, dan ditutup dengan doa Jauharatul Kamal sebanyak 12 kali.
Pembacaan wadhifah ini juga paling sedikit dua kali sehari semalam, yaitu pada sore dan malam hari, tetapi lebih afdlal dilakukan pada malam hari. Selain itu, setiap hari Jum’at membaca Hayhalah, yang terdiri dari dzikir tahlil dan Allah, Allah, setelah shalat Ashar sampai matahari terbenam. Dalam hal dzikir ini at-Tijani menekankan dzikir cepat secara berjamaah. Beberapa syarat yang ditekankan tarekat ini untuk prosesi pembacaan wirid dan wadhifah: berwudlu, bersih badan, pakaian dan tempat, menutup aurat, tidak boleh berbicara, berniat yang tegas, serta menghadap kiblat.
Satu hal yang penting dicatat dari dzikir Tarekat Tijaniyah — yang membedakannya dengan tarekat-tarekat lain — adalah bahwa tujuan dzikir dalam tarekat ini, sebagaimana dalam Tarekat Idrisiyyah, lebih menitikberatkan pada kesatuan dengan ruh Nabi SAW, bukan kemanunggalan dengan Tuhan, hal mana merupakan perubahan yang mempengaruhi landasan kehidupan mistik. Oleh karena itu, anggota tarekat ini juga menyebut tarekat mereka dengan sebutan At-Thariqah Al-Muhammadiyyah atau At-Thariqah al-Ahmadiyyah, termanya merujuk langsung kepada nama Nabi SAW. Akibatnya, jelas tarekat ini telah memunculkan implikasi yang ditandai dengan perubahan-perubahan mendadak terhadap asketisme dan lebih menekankan pada aktivitas-aktivitas praktis. Hal ini tampak sekali dalam praktik mereka yang tidak terlalu menekankan pada bimbingan yang ketat, dan penolakan atas ajaran esoterik, terutama ekstatikdan metafisis sufi. Ciri khusu dari dzikir dan wirid yang menjadi andalan milik penuh tarekat ini adalah Shalawat Fatih dan Jauharat al-Kamal.
Sumber Website Syeikh Rohimuddin Al Bantany http://www.rohimuddin.com/?p=547
Biografi Ulama Indonesia : SYAIKH NAWAWI AL BANTANI
SYAIKH NAWAWI AL BANTANI


Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…
Ada beberapa nama yang bisa disebut sebagai tokoh Kitab Kuning Indonesia. Sebut misalnya, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Abdul Shamad Al-Palimbani, Syekh Yusuf Makasar, Syekh Syamsudin Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Sheikh Ihsan Al-Jampesi, dan Syekh Muhammad Mahfudz Al-Tirmasi. Mereka ini termasuk kelompok ulama yang diakui tidak hanya di kalangan pesantren di Indonesia, tapi juga di beberapa universitas di luar negeri. Dari beberapa tokoh tadi, nama Syekh Nawawi Al-Bantani boleh disebut sebagai tokoh utamanya. Ulama kelahiran Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten, Jawa Barat, 1813 ini layak menempati posisi itu karena hasil karyanya menjadi rujukan utama berbagai pesantren di tanah air, bahkan di luar negeri.
Bernama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi, Syekh Nawawi sejak kecil telah diarahkan ayahnya, KH. Umar bin Arabi menjadi seorang ulama. Setelah mendidik langsung putranya, KH. Umar yang sehari-harinya menjadi penghulu Kecamatan Tanara menyerahkan Nawawi kepada KH. Sahal, ulama terkenal di Banten. Usai dari Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada ulama besar Purwakarta Kyai Yusuf.
Ketika berusia 15 tahun bersama dua orang saudaranya, Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Tapi, setelah musim haji usai, ia tidak langsung kembali ke tanah air. Dorongan menuntut ilmu menyebabkan ia bertahan di Kota Suci Mekkah untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dan negeri lainnya, seperti Imam Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani.
Tiga tahun lamanya ia menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah merasa bekal ilmunya cukup, segeralah ia kembali ke tanah air. Ia lalu mengajar dipesantren ayahnya. Namun, kondisi tanah air agaknya tidak menguntungkan pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir semua ulama Islam mendapat tekanan dari penjajah Belanda. Keadaan itu tidak menyenangkan hati Nawawi. Lagi pula, keinginannya menuntut ilmu di negeri yang telah menarik hatinya, begitu berkobar. Akhirnya, kembalilah Syekh Nawawi ke Tanah Suci.
Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkan ia menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjidil Haram, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Selain menjadi Imam Masjid, ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia.
Laporan Snouck Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Mekkah ditahun 1884-1885 menyebut, Syekh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya. Di antara muridnya yang berasal dari Indonesia adalah KH. Kholil Madura, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang. Mereka inilah yang kemudian hari menjadi ulama-ulama terkenal di tanah air. Sejak 15 tahun sebelum kewafatannya, Syekh Nawawi sangat giat dalam menulis buku. Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Ia termasuk penulis yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai persoalan agama. Paling tidak 34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf Alias Sarkis.
Beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas–Red) seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga sekarang.
Dikenal sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendirian yang khas, Syekh Nawawi amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan umat Islam. Namun demikian, dalam menghadapi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, ia memiliki caranya tersendiri. Syekh Nawawi misalnya, tidak agresif dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti ia kooperatif dengan mereka. Syekh Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka memberikan perhatian kepada dunia ilmu dan para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT.
Dalam bidang syari’at Islamiyah, Syekh Nawawi mendasarkan pandangannya pada dua sumber inti Islam, Alquran dan Al-Hadis, selain juga ijma’ dan qiyas. Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Mazhab Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai ijtihad dan taklid (mengikuti salah satu ajaran), Syekh Nawawi berpendapat, bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Bagi keempat ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat imam mazhab tersebut. Pandangannya ini mungkin agak berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal mazhab fikih, memang keempat ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini.
Apapun, umat Islam patut bersyukur pernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan seperti Syekh Nawawi Al-Bantani. Kini, tahun haul (ulang tahun wafatnya) diperingati puluhan ribu orang di Tanara, Banten, setiap tahunnya.
Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib A’li, sebuah kawasan di pinggiran kota Mekkah, pada 25 Syawal 1314H/1879 M.
oleh: Ust. H. Agus Zainal Arifin
Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…
Syekh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, adalah ulama Indonesia bertaraf internasional, lahir di Kampung Pesisir, Desa Tanara, Kecamatan Tanara, Serang, Banten, 1815. Sejak umur 15 tahun pergi ke Makkah dan tinggal di sana tepatnya daerah Syi’ab Ali, hingga wafatnya 1897, dan dimakamkan di Ma’la. Ketenaran beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Daerah Hijaz adalah daerah yang sejak 1925 dinamai Saudi Arabia (setelah dikudeta oleh Keluarga Saud).
Diantara ulama Indonesia yang sempat belajar ke Beliau adalah Syaikhona Khalil Bangkalan dan Hadratusy Syekh KH Hasyim Asy’ari. Kitab-kitab karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirimkan manuscriptnya dan setelah itu tidak mempedulikan lagi bagaimana penerbit menyebarluaskan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga negara-negara di Timur Tengah. Begitu produktifnya beliau dalam menyusun kitab (semuanya dalam bahasa Arab) hingga orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Riyadlush Shalihin, dll. Namun demikian panggilan beliau adalah Syekh Nawawi bukan Imam Nawawi.
Jumlah kitab beliau yang terkenal dan banyak dipelajari ada sekitar 22 kitab. Beliau pernah membuat tafsir Al-Qur’an berjudul Mirah Labid yang berhasil membahas dengan rinci setiap ayat suci Al-Qur’an. Buku beliau tentang etika berumah tangga, berjudul Uqudul Lijain (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia) telah menjadi bacaan wajib para mempelai yang akan segera menikah. Kitab Nihayatuz Zain sangat tuntas membahas berbagai masalah fiqih (syariat Islam). Sebuah kitab kecil tentang syariat Islam yang berjudul Sullam (Habib Abdullah bin Husein bin Tahir Ba’alawi), diberinya Syarah (penjelasan rinci) dengan judul baru Mirqatus Su’udit Tashdiq. Salah satu karya beliau dalam hal kitab hadits adalah Tanqihul Qoul, syarah Kitab Lubabul Hadith (Imam Suyuthi). Kitab Hadits lain yang sangat terkenal adalah Nashaihul Ibad, yang beberapa tahun yang lalu dibahas secara bergantian oleh Alm. KH Mudzakkir Ma’ruf dan KH Masrikhan (dari Masjid Jami Mojokerto) dan disiarkan berbagai radio swasta di Jawa Timur. Kitab itu adalah syarah dari kitabnya Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Di antara karomah beliau adalah, saat menulis syarah kitab Bidayatul Hidayah (karya Imam Ghozali), lampu minyak beliau padam, padahal saat itu sedang dalam perjalanan dengan sekedup onta (di jalan pun tetep menulis, tidak seperti kita, melamun atau tidur). Beliau berdoa, bila kitab ini dianggap penting dan bermanfaat buat kaum muslimin, mohon kepada Allah SWT memberikan sinar agar bisa melanjutkan menulis. Tiba-tiba jempol kaki beliau mengeluarkan api, bersinar terang, dan beliau meneruskan menulis syarah itu hingga selesai. Dan bekas api di jempol tadi membekas, hingga saat Pemerintah Hijaz memanggil beliau untuk dijadikan tentara (karena badan beliau tegap), ternyata beliau ditolak, karena adanya bekas api di jempol tadi.
Karomah yang lain, nampak saat beberapa tahun setelah beliau wafat, makamnya akan dibongkar oleh pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahadnya akan ditumpuki jenazah lain (sebagaimana lazim di Ma’la). Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila pergi ke Makkah, Insya Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di Pemakaman Umum Ma’la. Banyak juga kaum Muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di Serang, Banten.


Kitab Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari
Nama dan Nasabnya

Nama sebenarnya Syihabuddin Abul Fadhl Ahmadbin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar, al Kinani, al ‘Asqalani, asy Syafi’i, al Mishri.

Kemudian dikenal dengan nama Ibnu Hajar, dan gelarnya “al Hafizh”. Adapun penyebutan ‘Asqalani adalah nisbat kepada ‘Asqalan’, sebuah kota yang masuk dalam wilayah Palestina, dekat Ghuzzah.

Kelahirannya

Beliau lahir di Mesir pada bulan Sya’ban 773 H, namun tanggal kelahirannya diperselisihkan. Beliau tumbuh di sana dan termasuk anak yatim piatu, karena ibunya wafat ketika beliau masih bayi, kemudian bapaknya menyusul wafat ketika beliau masih kanak-kanak berumur empat tahun. Ketika wafat, bapaknya berwasiat kepada dua orang ‘alim untuk mengasuh Ibnu Hajar yang masih bocah itu. Dua orang itu ialah Zakiyuddin al Kharrubi dan Syamsuddin Ibnul Qaththan al Mishri.

Perjalanan Ilmiah Ibnu Hajar

Perjalanan hidup al Hafizh sangatlah berkesan. Meski yatim piatu, semenjak kecil beliau memiliki semangat yang tinggi untuk belajar. Beliau masuk kuttab (semacam Taman Pendidikan al Qur’an) setelah genap berusia lima tahun. Hafal al Qur’an ketika genap berusia sembilan tahun.

Di samping itu, pada masa kecilnya, beliau menghafal kitab-kitab ilmu yang ringkas, seperti al ‘Umdah, al Hawi ash Shagir, Mukhtashar Ibnu Hajib dan Milhatul I’rab. Semangat dalam menggali ilmu, beliau tunjukkan dengan tidak mencukupkan mencari ilmu di Mesir saja, tetapi beliau melakukan rihlah (perjalanan) ke banyak negeri. Semua itu dikunjungi untuk menimba ilmu.

Negeri-negeri yang pernah beliau singgahi dan tinggal disana, di antaranya:

1. Dua tanah haram, yaitu Makkah dan Madinah. Beliau tinggal di Makkah al Mukarramah dan shalat Tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785 H. Yaitu pada umur 12 tahun. Beliau mendengarkan Shahih Bukhari di Makkah dari Syaikh al Muhaddits (ahli hadits) ‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari) kemudian al-Makki Rahimahullah. Dan Ibnu Hajar berulang kali pergi ke Makkah untuk melakukah haji dan umrah.

2. Dimasyq (Damaskus). Di negeri ini, beliau bertemu dengan murid-murid ahli sejarah dari kota Syam, Ibu ‘Asakir Rahimahullah. Dan beliau menimba ilmu dari Ibnu Mulaqqin dan al Bulqini.

3. Baitul Maqdis, dan banyak kota-kota di Palestina, seperti Nablus, Khalil, Ramlah dan Ghuzzah. Beliau bertemu dengan para ulama di tempat-tempat tersebut dan mengambil manfaat.

4. Shana’ dan beberapa kota di Yaman dan menimba ilmu dari mereka. Semua ini, dilakukan oleh al Hafizh untuk menimba ilmu, dan mengambil ilmu langsung dari ulama-ulama besar.

Dari sini kita bisa mengerti, bahwa guru-guru al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqlani sangat banyak, dan merupakan ulama-ulama yang masyhur.

Bisa dicatat, seperti: ‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari) kemudian al-Makki (wafat 790 H), Muhammad bin ‘Abdullah bin Zhahirah al Makki (wafat 717 H), Abul Hasan al Haitsami (wafat 807 H), Ibnul Mulaqqin (wafat 804 H), Sirajuddin al Bulqini Rahimahullah (wafat 805 H) dan beliaulah yang pertama kali mengizinkan al Hafizh mengajar dan berfatwa.

Kemudian juga, Abul-Fadhl al ‘Iraqi (wafat 806 H) –beliaulah yang menjuluki Ibnu Hajar dengan sebutan al Hafizh, mengagungkannya dan mempersaksikan bahwa Ibnu Hajar adalah muridnya yang paling pandai dalam bidang hadits-, ‘Abdurrahim bin Razin Rahimahullah –dari beliau ini al Hafizh mendengarkan shahih al Bukhari-, al ‘Izz bin Jama’ah Rahimahullah, dan beliau banyak menimba ilmu darinya.Tercatat juga al Hummam al Khawarizmi Rahimahullah.

Dalam mengambil ilmu-ilmu bahasa arab, al Hafizh belajar kepada al Fairuz Abadi Rahimahullah, penyusun kitab al Qamus (al Muhith-red), juga kepada Ahmad bin Abdurrahman Rahimahullah. Untuk masalah Qira’atus-sab’ (tujuh macam bacaan al Qur’an), beliau belajar kepada al Burhan at-Tanukhi Rahimahullah, dan lain-lain, yang jumlahnya mencapai 500 guru dalam berbagai cabang ilmu, khususnya fiqih dan hadits. Jadi, al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani mengambil ilmu dari para imam pada zamannya di kota Mesir, dan melakukakan rihlah (perjalanan) ke negeri-negeri lain untuk menimba ilmu, sebagaimana kebiasaan para ahli hadits.

Layaknya sebagai seorang ‘alim yang luas ilmunya, maka beliau juga didatangi para thalibul ‘ilmi (para penuntut ilmu, murid-red) dari berbagai penjuru yang ingin mengambil ilmu dari beliau, sehingga banyak sekali murid beliau. Bahkan tokoh-tokoh ulama dari berbagai madzhab adalah murid-murid beliau. Yang termasyhur misalnya, Imam ash-Shakhawi (wafat 902 H), yang merupakan murid khusus al Hafizh dan penyebar ilmunya, kemudian al Biqa’i (wafat 885 H), Zakaria al-Anshari (wafat 926 H), Ibnu Qadhi Syuhbah (wafat 874 H), Ibnu Taghri Bardi (wafat 874 H), Ibnu Fahd al-Makki (wafat 871 H), dan masih banyak lagi yang lainnya.

Karya-Karyanya

Kepakaran al Hafizh Ibnu Hajar sangat terbukti. Beliau mulai menulis pada usia 23 tahun, dan terus berlanjut sampai mendekti ajalnya. Beliau mendapatkan karunia Allah Ta’ala di dalam karya-karyanya, yaitu keistimewaan-keistimewaan yang jarang didapati pada orang lain. Oleh karena itu, karya-karya beliau banyak diterima umat islam dan tersebar luas, semenjak beliau masih hidup. Para raja dan amir biasa saling memberikan hadiah dengan kitab-kitab Ibnu hajar Rahimahullah. Bahkan sampai sekarang, kita dapati banyak peneliti dan penulis bersandar pada karya-karya beliau Rahimahullah. Di antara karya beliau yang terkenal ialah: Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari, Bulughul Marom min Adillatil Ahkam, al Ishabah fi Tamyizish Shahabah, Tahdzibut Tahdzib, ad Durarul Kaminah, Taghliqut Ta’liq, Inbaul Ghumr bi Anbail Umr dan lain-lain.

Bahkan menurut muridnya, yaitu Imam asy-Syakhawi, karya beliau mencapai lebih dari 270 kitab. Sebagian peneliti pada zaman ini menghitungnya, dan mendapatkan sampai 282 kitab. Kebanyakan berkaitan dengan pembahasan hadits, secara riwayat dan dirayat (kajian).

Mengemban Tugas Sebagai Hakim

Beliau terkenal memiliki sifat tawadhu’, hilm (tahan emosi), sabar, dan agung. Juga dikenal banyak beribadah, shalat malam, puasa sunnah dan lainnya. Selain itu, beliau juga dikenal dengan sifat wara’ (kehati-hatian), dermawan, suka mengalah dan memiliki adab yang baik kepada para ulama pada zaman dahulu dan yang kemudian, serta terhadap orang-orang yang bergaul dengan beliau, baik tua maupun muda. Dengan sifat-sifat yang beliau miliki, tak heran jika perjalanan hidupnya beliau ditawari untuk menjabat sebagai hakim.

Sebagai contohya, ada seorang hakim yang bernama Ashadr al Munawi, menawarkan kepada al Hafizh untuk menjadi wakilnya, namu beliau menolaknya, bahkan bertekad untuk tidak menjabat di kehakiman. Kemudian, Sulthan al Muayyad Rahimahullah menyerahkan kehakiman dalam perkara yang khusus kepada Ibnu Hajar Rahimahullah. Demikian juga hakim Jalaluddin al Bulqani Rahimahullah mendesaknya agar mau menjadi wakilnya.

Sulthan juga menawarkan kepada beliau untuk memangku jabatan Hakim Agung di negeri Mesir pada tahun 827 H. Waktu itu beliau menerima, tetapi pada akhirnya menyesalinya, karena para pejabat negara tidak mau membedakan antara orang shalih dengan lainnya. Para pejabat negara juga suka mengecam apabila keinginan mereka ditolak, walaupun menyelisihi kebenaran. Bahkan mereka memusuhi orang karena itu. Maka seorang hakim harus bertolak-ansur dengan banyak pihak sehingga sangat menyulitkan untuk menegakkan keadilan.

Setelah satu tahun, yaitu tanggal 7 atau 8 Dzulqa’idah 828 H, akhirnya beliau mengundurkan diri. Pada tahun ini pula, Sulthan memintanya lagi dengan sangat, agar beliau menerima jabatan sebagai hakim kembali. Sehingga al Hafizh memandang, jika hal tersebut wajib bagi beliau, yang kemudian beliau menerima jabatan tersebut tanggal 2 rajab. Masyarakatpun sangat bergembira, karena memang mereka sangat mencintai beliau. Kekuasaan beliau pun ditambah, yaitu diserahkannya kehakiman kota Syam kepada beliau pada tahun 833 H. Jabatan sebagai hakim, beliau jalani pasang surut. Terkadang beliau memangku jabatan hakim itu, dan terkadang meninggalkannya. Ini berulang sampai tujuh kali. Penyebabnya, karena banyaknya fitnah, keributan, fanatisme dan hawa nafsu.

Jika dihitung, total jabatan kehakiman beliau mencapai 21 tahun semenjak menjabat hakim Agung. Terakhir kali beliau memegang jabatan hakim, yaitu pada tanggal 8 Rabi’uts Tsani 852 H, tahun beliau wafat.

Selain kehakiman, beliau juga memilki tugas-tugas:

• Berkhutbah di Masjid Jami’ al Azhar.

• Berkhutbah di Masjid Jami’ ‘Amr bin al Ash di Kairo.

• Jabatan memberi fatwa di Gedung Pengadilan.

Di tengah-tengah mengembang tugasnya, beliau tetap tekun di dalam samudera ilmu, seperti mengkaji dan meneliti hadits-hadits, membacanya, membacakan kepada umat, menyusun kitab-kitab, mengajar tafsir, hadits, fiqih dan ceramah di berbagai tempat, juga mendiktekan dengan hafalannya. Beliau mengajar sampai 20 madrasah. Banyak orang-orang utama dan tokoh-tokoh ulama yang mendatanginya dan mengambil ilmu darinya.

Kedudukannya

Ibnu Hajar Rahimahullah menjadi salah satu ulama kebanggaan umat, salah satu tokoh dari kalangan ulama, salah satu pemimpin ilmu. Allah Ta’ala memberikan manfaat dengan ilmu yang beliau miliki, sehingga lahirlah murid-murid besar dan disusunnya kitab-kitab.

Seandainya kitab beliau hanya Fathul Bari, cukuplah untuk meninggikan dan menunjukkan keagungan kedudukan beliau. Karena kitab ini benar-benar merupakan kamus Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaii wasallam. Sedangkan karya beliau berjumlah lebih dari 150 kitab.

Syaikh al Albani Rahimahullah mengatakan, Adalah merupakan kedzaliman jika mengatakan mereka (yaitu an-Nawawi dan Ibnu Hajar al ‘Asqalani) dan orang-orang semacam mereka termasuk ke dalam golongan ahli bid’ah. Menurut Syaikh al Albani, meskipun keduanya beraqidah Asy’ariyyah, tetapi mereka tidak sengaja menyelisihi al Kitab dan as Sunnah.

Anggapan mereka, aqidah Asy’ariyyah yang mereka warisi itu adalah dua hal:

Pertama, bahwa Imam al Asy’ari mengatakannya, padahal beliau tidak mengatakannya, kecuali pada masa sebelumnya, (lalu beliau tinggalkan dan menuju aqidah Salaf,).

Kedua, mereka menyangka sebagai kebenaran, padahal tidak.

Wafatnya

Ibnu Hajar wafat pada tanggal 28 Dzulhijjah 852 H di Mesir, setelah kehidupannya dipenuhi dengan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, menurut sangkaan kami, dan kami tidak memuji di hadapan Allah terhadap seorangpun. Beliau dikuburkan di Qarafah ash-Shugra. Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas, memaafkan dan mengampuninya dengan karunia dan kemurahanNya.

Rebo Wekasan

Rebo Wekasan
Sudah menjadi tradisi di kalangan sebagian umat Islam terutama di masayarakat Islam Jawa merayakan Rebo Wekasan atau Rabu Pungkasan (Yogyakarta) atau Rebo Kasan (Sunda Banten) dengan berbagai cara. Ada yang merayakan dengan cara bersa-besaran, ada yang merayakan secara sederhana dengan membuat makanan yang kemudian dibagikan kepada orang-orang yang hadir, namun diawali dengan tahmid, takbir, zikir dan tahlil serta diakhir dengan do’a.
Ada juga yang merayakan dengan melakukan shalat Rebo Wekasan atau shalat tolak bala, baik dilakukan sendiri-sendiri maupun secara berjamaah. Bahkan ada yang cukup merayakannya dengan jalan-jalan ke pantai untuk mandi dimaksudkan untuk menyucikan diri dari segala kesalahan dan dosa.
Waktu penulis masih kecil sekitar tahun 1960 an suka ikut-ikutan merayakan Rebo Wekasan yang dilakukan oleh para orang tua, yaitu dengan cara riungan pagi hari Rabu Wekasan sekitar jam 06.00 di masjid dengan membawa jamuan ketupat dan temannya ada ayam sayur, ayam goreng, ayam bakar dan lain-lain. Riuangan dipimpim oleh imam masjid dan diiringi dengan tahlil dan tahmid serta diakhir dengan do’a tolak bala. Dan setelah itu, jamuan tersebut dibagikan kepada peserta riungan untuk dimakan secara bersama-sama. Namun saat ini, kegiatan tersebut sudah tidak dilakukan lagi, akibat dari pergeseran nilai-nilai sosial di kalangan masyarakat setempat.
Apa yang dimaksud dengan “Rebo Wekasan” ?
Rebo Wekasan adalah hari Rabu yang terakhir pada bulan Shafar. Dari beberapa cara merayakan Rebo Wekasan ada yang mengganjal dalam pikiran penulis yaitu dengan cara melalukan shalat Rebo wekasan yang dikerjakan pada hari Rabu pagi akhir bulan Shafar setelah shalat Isyraq, kira-kira mulai masuk waktu Dhuha. Pada dasarnya Shalat Rebo Wekasan tidak ditemukan temukan adanya Hadits yang menerangkan shalat Rebo Wekasan.
Dalam Islam berbagai shalat baik wajib maupun sunnah telah disebutkan dalam Hadits Nabi saw secara lengkap yang termuat dalam berbagai kitab Hadits, namun shalat Rebo Wekasan tidak ditemukan. Shalat wajib atau shalat sunnah merupakan ibadah yang telah ditentukan Allah dan Rasul-Nya, baik tata cara mengerjakannya maupun waktunya. Tidak dibenarkan membuat atau menambah shalat baik wajib maupun sunnah dari yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ibadah hanya dapat dilakukan sesuai dengan yang diperintahkan, jika tidak, maka sia-sia belaka.
Ada sebuah buku berjudul “Kanzun Najah” karangan Syekh Abdul Hamid Kudus yang pernah mengajar di Makkatul Mukaramah. Dalam buku tersebut diterangkan bahwa telah berkata sebagian ulama ‘arifin dari ahli mukasyafah (sebutan ulama sufi tingkat tinggi), bahwa setiap hari Rabu di akhir bulan Shafar diturunkan ke bumi sebanyak 360.000 malapetaka dan 20.000 macam bencana. Bagi orang yang melaksanakan shalat Rebo Wekasan atau shalat tolak bala pada hari tersebut sebanyak 4 raka’at satu kali salam atau 2 kali salam dan pada setiap raka’at setelah membaca surat Al Fatihah dilanjutkan dengan membaca surat Al Kautsar 17 kali, surat Al Ikhlas 5 kali, surat Al Falaq 2 kali dan surat An Nas 1 kali. Setelah selesai shalat dilanjutkan membaca do’a tolak bala, maka orang tersebut terbebas dari semua malapetaka dan bencana yang sangat dahsyat tersebut.
Atas dasar keterangan tersebut, maka shalat Rebo Wekasan tidak bersumber dari Hadits Nabi saw dan hanya bersumber pada pendapat ahli mukasyafah ulama sufi. Oleh sebab itu, mayoritas ulama mengatakan shalat Rebo Wekasan tidak dianjurkan dengan alasan tidak ada Hadits yang menerangkannya. Ada pula ulama yang membolehkan melakukan shalat Rebo Wekasan, dengan dalih melakukan shalat tersebut termasuk melakukan keutamaan amal (Fadhailul ‘amal).
Namun sikap yang baik terhadap shalat Rebo Wekasan adalah kembali kepada aturan bahwa semua ibadah didasarkan atas perintah. Sesuai dengan penjelasan yang telah diuraikan di atas, tidak ditemukan dasar perintah atau keterangan yang menjelaskan tentang shalat Rebo Wekasan atau shalat tolak bala, maka shalat Rebo Wekasan tidak perlu dilakukan. Bukankah semua shalat yang kita kerjakan baik wajib maupun sunnah dapat menolak bala? (aby)

TATA CARA PELAKSANAAN SHOLAT SUNAT LIDAF’IL BALA PADA HARI RABU TERAKHIR BULAN SHOFAR
Sholat Sunat Lidaf’il Bala Rabu Terakhir bulan Shofar pada tahun ini dilaksanakan pada tanggal 2 Pebruari 2011. dilaksanakan pada pagi hari setelah sholat Isyraq, Isti’adzah dan Istikharah.
Pelaksanaan sholat sunat Lidaf’il Bala diambil dari keterangan yang tercantum dalam kitab al-Jawahir al-Khomsi halaman 51-52. dilaksanakan pada pagi hari Rabu terakhir bulan Shofar, sebanyak 4 rakaat 2 kali salam. Niatnya :

Setiap rakaat ba’da fatihah membaca :
- Surat al-Kaustar 17 kali,
- Surat al-Ikhlash 5 kali,
- Surat al-Falaq dan an-Nas masing-masing 1 kali
Sebelum melaksanakan sholat membaca istighfar :

Abdi neda panghampura. Ka Gusti Allah nu Agung, Ka Gusti Allah nu Agung. Teu aya deui Pangeran. Anging Allah, Anging Allah, anu hurip anu jumeneng ku Anjeun. Abdi tobat ka Pangeran, Abdi tobat ka Pangeran, saperti abdi nganiaya. Teu ngamilik diri abdina pribadi. Teu ngamilik madhorotna. Teu ngamilik manfaatna. Teu ngamilik kana maotna. Teu ngamilik kana hirupna. Teu ngamilik pigelarna.
(Saya memohon ampun kepada Allah yang Maha Agung. Saya mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Tuhan yang hidup terus dan berdiri dengan sendiri-Nya. Saya mohon taubat selaku seorang hamba yang banyak berbuat dosa, yang tidak mempunyai daya upaya apa-apa untuk berbuat mudharat atau manfaat untuk mati atau hidup maupun bangkit nanti.
Do’a setelah shalat lidaf’il Bala:

Artinya : “Ya Alloh, aku berlindung kepada-Mu dengan kalimat-Mu yang sempurna dari angin merah dan penyakit yang besar di jiwa, daging, tulang dan urat. Maha Suci Engkau apabila memutuskan sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah” maka “jadilah ia”.

Kamis, 20 Januari 2011

SEJARAH MAJELIS TA’LIM AL-UJROH

MAJELIS TA’LIM AL-UJROH
Berawal dari sebuah keinginan, keyakinan dan Ridho Allah, Rasullullah, orang tua tercinta beserta guru-guru termulia dan kerabat setia untuk mengamalkan ilmu sedikit yang telah dimiliki, yang tentu di dapat dari dulu nyantri pondok tempat ilmu di Kadomas Pandeglang Banten tepatnya di pondok pesantren Al-Ihsan yang di asuh oleh seorang Kyai yang penuh dengan keilmuan terutama di bidang Al-Qur’an, hadist, dan nahwu shorof, yaitu Abi KH. Asmuni M Noor, beliau yang telah banyak memberikan bimbingan ilmu baik rohani dan jasmani, mudah-mudahan beliau selalu di rahmati Allah beserta keluarganya, di panjangkan umur dan tentunya di berikan lindungan Allah SWT Amin. Kurang lebih bersama beliau selama 7 tahun, akan tetapi selain di Kadomas banyak menyicipi ilmu ulama-ulama Banten walau hanya sekedar pasaran ( belajar pada waktu-waktu tertentu ), yaitu tepatnya di Cidahu di almarhum Al-‘alim Al-alamah Abuya KH Dimyati, di Abah KH kurdi Kadomas, di Padarincang, Mama KH. Obay karawang, dan ijazah imu-ilmu hikmah dari beberapa Kyai Banten dan Jawa ( Ahmad bin ‘Ali buni Wanafa’ana bi ‘ulumihi amin ). Selain itu banyak mendapatkan ilmu yang di dapat dari bangku kuliah di IAIN “ Sultan Maulana Hasanuddin Banten” Serang, dalam Fakultas Usuluddin jurusan Tafsir wal Hadist. Selama kurang lebih 3 setengah tahun selesai dengan yudicium cumlaude.
Tahun 2006 mulai kembali ke kampung halaman tepatnya di Cimanglid, disinilah mulai sedikit-sedikit mengamalkan ilmu yang ada walau masih banyak kekurangan, dari pengalaman sering menjadi badal ( menggantikan mengisi pengajian ) seorang Bapak sekaligus guru yaitu Al-‘alim Al-waro’ Ustad Abdul Halim Bin H.Ibrohim Bin Abah KH.Ujroh Bin H. Abdul rojaq al-Bantani, dari sinilah banyak pengalaman dan ilmu-ilmu baru yang di dapat. Di samping itu sempat mengajar mengamalkan ilmu melalui pendidikan formal di sekolah MA Nur Tauhid empang Bogor, pimpinan cucu dari seorang wali Allah Yaitu Al-Habib Abdullah Bin Mukhsin Al-attas Karomat Empang Bogor dan di SMK Dramaga IPB , kurang lebih 6 tahun.
Tahun 2008 tepatnya bulan Desember tanggal 14 hari minggu, bertepatan dengan bulan Djulhizah ( Bulan Haji ) pada usia 25 tahun melaksanakan sunnah Nabi menikah dengan Siti Alfiah ( 19 ) Bin H.Hasan Basri dari petunjuk guru Abi, tepatnya di Beunying Pandeglang Banten. Di tahun pertama Alhamdulliah di berikan rizki oleh Allah putri pertama yang lahir pada tanggal 18 hari minggu bulan Oktober 2009 di beri nama Raudloh Al-mahira Ahmad. Pada usia putri yang ke 3 bulan, mulai pindah rumah ke Cikaret Gg.kosasih tempat kelahiran Rama, kakek sampai kepada uyut Kyai Ujroh tepatnya bulan Januari 2010, disinilah mulai hidup mandiri bersama istri tercinta dan anak tersayang, sebulan sudah berlalu mulai berfikir berkeinginan mengadakan pengajian di rumah alakadar silaturahim dan memanfaatkan ilmu yang ada karena banyak amanat dari guru-guru, tepat bulan Febuari mulai mengadakan pengajian Jama’ah Bapak2 yang di bacakan kitab fiqih Fathul Qorib dan Tafsir Jalalain, tepat dilaksanakan setiap malam minggu ba’da isya. Karena mulai berfikir ingin punya tempat yaitu Majlis maka mulai tanggal 30 Juli 2010 mulai membuat pondasi di lahan wakaf dari uyut ke aki sampai ke bibi, luas kurang lebih 5x9 M, berkat dorongan dari orang tua, guru-guru, masyarakat setempat dan keluarga tak terlepas istri akhirnya bisa bejalan dan terlaksana sampai pembangunan. Sudah 6 bulan berlalu pengajian jama’ah Bapak-bapak, kemudian pada bulan Oktober 2010 tanggal 03 mulai membuka pengajian untuk jama’ah ibu-ibu, tepat pada setiap hari minggu ba’da ashar, yang di bacakan kitab Uqludjaen dan Kasyifatu Saja’ ( sapinah ) beserta Ratib Al-Attas.